Oleh Muhajir Al Fairusy.
Allah SWT selalu memberikan pilihan dalam hidup ini antara berbuat baik atau jahat, sebagai implikasi pilihan selanjutnya surga atau neraka. Pun demikian, di dunia yang dihuni oleh miliaran manusia yang berkoloni, berkomunitas hingga berbangsa, punya model tersendiri sebagai ciri khas sebuah bangsa. Dari model beradab, hingga kurang beradab. Model beradab, biasanya dimunculkan oleh komunitas / negara yang jauh dari praktik patologi sosial. Sebaliknya, yang kurang beradab selalu diwarnai dengan peningkatan volume praktik kriminal. Terlepas dari doktrin agama apa, kalau pelakunya jauh dari nilai agama- maka dapat dipastikan mereka belum menjadi bagian dari peradaban.
Negara Brunai Darussalam |
Mengenai Brunei Darussalam, wilayah ini-hampir jarang terdengar isu patologi sosial dari ragam media. Terutama, terkait pemberitaan-pemberitaan tindakan kriminal "yang dimaknai sebagai perilaku tak beradab", baik dari sisi politik maupun kehidupan sosial negara mungil ini. Bahkan, nama Brunei dengan kultur Melayu dan Islam-nya, selalu dilirik oleh banyak orang Aceh untuk bisa mengikuti jejaknya. Potret SDA Brunei, dan ideologi agama yang sama selalu saja diserupakan oleh banyak orang Aceh, untuk membangun negerinya kelak.
Negara Somalia |
Di sisi lain, di wilayah yang berbeda, ada bangsa Somalia. Bangsa ini, telah mendapat stereotipe sebagai negara pelaku pelanggaran “damai” paling sering. Dimulai dari rivalitas antarsuku, riak konflik dengan negeri seberangnya / Ethopia, dan spesial dalam kasus pembajakan kapal laut asing, yang melintas wilayah perairan mereka. Tiga elemen tadi, selalu menjadi isu untuk menempatkan mereka sebagai komunitas yang kurang patut untuk ditiru. Tentunya, tak ada satu orang Aceh pun, yang ingin bercermin ke sana. Meskipun, dalam praktik, tak sedikit orang Aceh yang ikut berperilaku ala somali.
Tindakan paling keji.
Praktik ala pembajak Somalia, kian sering terjadi menjelang Pemilu di Aceh, seperti pembunuhan yang kian marak. Sikap menghargai nyawa manusia sebagai pemberian istimewa Tuhan, dan hanya Dia yang berhak mencabutnya, seakan dikibuli oleh nafsu serakah manusia itu sendiri. Padahal, membunuh itu adalah tindakan paling keji di atas muka bumi. Islam sendiri, mengecam pelaku pembunuhan dengan ancaman tak akan pernah mencium aroma surga. Membunuh dan merebut hak orang lain merupakan tindakan menggerogoti perasaan solidaritas sosial, yang bisa mengancam stabilitas keamanan sebuah komunitas.
Ibnu Khaldun, seorang sosiolog terkemuka dan peneliti yang sangat lama memperhatikan perjalanan dinasti dan bangsa-bangsa, terutama dinasti Islam/di era kejayaan, menyebut bahwa kekuatan dan kemakmuran sebuah bangsa sangat tergantung dari kekuatan solidaritas sosial yang dibangunnya. Perasaan solidaritas sosial, sering diusik dengan mulai menekan keinginan orang lain, saat pejuang yang telah mendapat kekuasaan mengesampingkan orang lain, ketika mereka sibuk mengumpulkan kekayaan "Ibnu Khaldun, Muqaddimah/terj: 205".
Pada dasarnya, kedua komunitas "Brunei dan Somalia" sama-sama kelompok manusia yang mendiami bumi ini, keduanya pun bagian dari penganut agama samawi yang terakhir diturunkan, lalu menyinergikannya dengan konsep pemerintahan persis seperti Aceh. Jika membuka lembaran sejarah, konsep ini merupakan estafet dari pola penyatuan agama dan negara, yang telah dipraktikkan oleh dinasti-dinasti Islam sebelumnya, hingga dinasti Ottoman Turki (1924 M).
Meskipun dalam perkembangan, tidak selamanya pemerintahan benar-benar memakai agama sebagai landasan. Justru, simbol agama dikemudian hari, cenderung dimanfaatkan sebagai isu kepentingan politik. Namun, Brunei Darussalam tergolong bangsa yang beruntung, mereka mampu menempatkan Islam sebagai landasan nilai mengatur pemerintahan, yang baik dan mapan (bukan karena desakan pasar politik). Bahkan, sejak Oktober 2013, Brunei terang-terangan mendeklarasikan penetapan syariat Islam secara komprehensif.
Brunei Darussalam, sebagai negara yang merdeka pada tahun 1 Januari 1984, terus membuat gebrakan untuk kemajuan negeri Melayu-nya, dengan tetap berlandaskan Islam sebagai bagian dari ideologi negara/kerajaan. Beradabnya bangsa Brunei, karena penguasa mampu meredam patologi sosial, dan rakyat ditata dengan keadilan serta nilai keislaman yang utuh "bukan pada basis simbol belaka". Meskipun, di sisi lain, pelbagai praktik subpolitik terus dikontrol penuh oleh pihak kerajaan.
Sebaliknya, Somalia sebagai negara yang merdeka pada tahun 1960, dengan basis negara demokrasi parlementer, tak hentinya dilanda konflik dan perang saudara yang berkepanjangan. Memang, persoalan ketidakdilan, dan kemiskinan menjadi faktor utama, hingga sulit untuk menetralkan keinginan rakyat yang terdiri dari banyak suku di sana. Apalagi, Somalia memiliki jumlah tentara yang sedikit, hingga tindakan fasis menstabillkan negara, dipastikan sulit untuk diterapkan.
Potret tindak bajak Somalia, divisualkan dalam sebuah film yang berjudul Captain Philips, (terlepas konstruksi mitos dengan mengangkat martabat Amerika). Film ini, mendeskripsikan bagaimana para pembajak Somalia, bekerja atas tuntutan ekonomi dengan memeras para pelayar yang menyeberang lintasan wilayah laut mereka. Keberanian pembajak laut Somalia (di luar kendali nilai agama), tampak begitu nekat, dengan hanya menumpangi sekoci kecil, berusaha menaklukkan kapal besar yang membawa barang ratusan ton.
Karena itu, potret kedua negara adalah pilihan dari banyak model yang tak mungkin dideskripsikan dalam kolom terbatas ini. Dualisme potret kelompok bangsa ini, tentu sangat ambiguitas jika dihadapkan dengan kondisi Aceh sekarang. Satu sisi, Aceh punya mimpi menjadi Brunei. Namun, di sisi lain praktik ala Somalia terus terjadi.
Aceh harus memilih
Sebagai sebuah kelompok bangsa yang baru mengalami transisi dari konflik berkepanjangan menuju damai (dan mungkin konflik lagi), Aceh tetap harus memilih. Memilih meniru secara berkelanjutan potret bangsa Brunei, dan menjauh dari sikap hidup pembajakan (suka membunuh) ala Somalia, atau sebaliknya. Ingin seperti Brunei, memang tak semudah membalik telapak tangan, terlebih kalau kontrol solidaritas sosial masih lemah. Apalagi, praktik kecurangan, kriminalitas yang dipertontonkan oleh pihak tertentu (termasuk skenario pihak luar), justru terus menyiutkan cita-cita untuk menjadi saudara kembarnya Brunei.
Memang, Aceh sebagai bagian dari koloni atau bangsa, juga tak terlepas dari multimodel manusia yang mendiaminya. Ragam perilaku, baik yang beradab hingga yang kurang beradab, menjadi ciri khas dari penduduk bumi Serambi Mekkah ini. Penyematan simbol yang baik untuk Aceh, mulai dari Serambi Mekkah, hingga syariat tentu belum menjadi resolusi secara realitas mengubah perilaku manusia secara kolektif.
Apalagi, masih banyak yang belum mencapai maqam kesadaran mewujudkan nilai di balik simbol tersebut. Karena itu, untuk melihat Aceh sebagai sebuah bangsa yang memiliki multi cita-cita, perlu dihadapkan pada cermin bangsa lain di permukaan bumi ini. Terlalu muluk, jika dihadapkan pada Jepang dan Amerika. Lebih rasional, untuk dihadapkan (memilih) dua bangsa yang secara kultural (mungkin) mendekati sifat orang Aceh, yaitu Brunei Darussalam atau Somalia
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !