SELAMAT DATANG DI HIMPUNAN MAHASISWA KECAMATAN SAWANG Menerawang Aceh dari Sawang - himasa
Headlines News :
Home » » Menerawang Aceh dari Sawang

Menerawang Aceh dari Sawang

Written By Unknown on Kamis, 06 Maret 2014 | 07.16

Oleh: Muhammad dan Sidik Pramono

Tidak mudah memasuki Sawang, Aceh Utara. Kecamatan yang berada sekitar 30 kilometer sebelah tenggara Kota Lhokseumawe tersebut memiliki banyak pintu masuk. Dari tepi jalan raya yang menghubungkan Kota Lhokseumawe-Kabupaten Bireuen setidaknya dibutuhkan waktu lebih dari 30 menit.
Jalan berdebu menjadi pemandangan yang mewarnai sepanjang perjalanan menuju ke pedalaman Sawang. Lapisan jalan yang hanya terdiri dari pasir dan batu membuat debu beterbangan ketika kendaraan melintas akibat rencana pengaspalan yang tak kunjung tuntas.

Musawwir (29), warga Lamdingin, Banda Aceh, tidak pernah membayangkan bisa memasuki wilayah Sawang. Menyebut Sawang berarti menunjuk wilayah paling hitam dalam sejarah konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia lebih dari 30 tahun.

Pada masa lalu, Sawang dikenal sebagai basis pejuang GAM. Sebagian orang mengenalnya sebagai ”Pentagon GAM”. Saat konflik memuncak, seiring dengan operasi pemantapan penyelenggaraan pemerintahan, Sawang lumpuh. Sebagai daerah berkategori hitam, Sawang mesti dipimpin oleh camat dari kalangan militer—sekalipun tetap saja pemerintahan tidak bisa berjalan efektif.

Stigma itu masih melekat hingga kini meski konflik bersenjata sudah berakhir hampir empat tahun lalu, sejalan dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MOU) Damai Helsinki, Agustus 2005. Pendatang baru yang memasuki Sawang butuh ”izin khusus” dari berbagai pihak yang kenal kondisi wilayah itu.

Sawang, dengan lebih dari 33.000 penduduk, merupakan salah satu daerah subur. Berbagai macam tanaman, padi, pinang, mangga, durian, hingga kakao, tumbuh di lahan-lahan milik masyarakat. Pada masa lalu, Sawang merupakan sarang bagi pejuang GAM. Sebaliknya, tentara Indonesia mesti siap menghadapi serangan saat melewati daerah ini.

Namun, kini yang terasa adalah kehidupan yang tidak beranjak membaik. Darwin (27), misalnya. Semasa konflik, Darwin menjadi aneuk pateng, penjaga radio yang mengabarkan setiap kedatangan tentara ke wilayah mereka. Ketika konflik memanas, Darwin merantau ke Malaysia, bekerja di perusahaan katering. Ia bisa mengirimkan Rp 1 juta per bulan kepada keluarganya dan membantu GAM.

Namun, saat kembali ke Aceh tahun 2006, Darwin justru sulit mendapat pekerjaan. Yang menyakitkan, para pejuang yang dulu amat dihormatinya justru seperti melupakan orang-orang seperti Darwin.

”Mana mau? Sekarang pun mereka hanya lewat untuk melihat kebunnya yang puluhan hektar, naik mobil mewah, kaca tertutup,” kata Teuku Sayed Azhar (29) sambil menyebut salah satu mantan petinggi GAM. Sayed, bapak satu anak itu, bekas anggota pasukan GAM di Deli. Masuk GAM sejak usia 17 tahun, Sayed berkualifikasi sebagai pasukan komando. Sayed adalah otak sejumlah peledakan di Medan. Tertangkap, Sayed masuk ke Penjara Tanjung Gusta, Medan, 2003. Vonis 12 tahun hanya dijalaninya sampai 2006, seiring dengan perjanjian MOU Helsinki.

Tak heran jika ketimpangan semacam itu membangkitkan protes di lingkup internal GAM. Misalnya, di Sawang sempat muncul ”pasukan pedang” yang antara lain juga tidak sejalan dengan eks GAM yang tergabung dalam Komite Peralihan Aceh. Menurut Sayed, hal itu muncul karena pasukan GAM sejak awal telah didoktrin untuk melawan yang dianggap tak benar. ”Kalau sudah masuk ke pemerintah, mereka jadi orang lain. Salah pun akan kami katakan salah,” ujar Sayed berapi-api.

Kesempatan
Pascaperjanjian perdamaian disepakati, ada upaya untuk meleburkan kembali mantan GAM ke masyarakat. Anggaran besar untuk reintegrasi dikucurkan. Sampai 2007, mantan pasukan GAM yang berjumlah 3.000 orang akan memperoleh Rp 25 juta per orang, tetapi baru akan diberikan jika mereka berkelompok membuka usaha bersama. Selain pasukan GAM, juga dijanjikan mendapatkan dana Rp 10 juta per orang yang meliputi 2.000 mantan tahanan politik, GAM nonmiliter 6.200 orang, GAM yang menyerah sebelum MOU Helsinki 2.000 orang, korban konflik 10.000 orang, dan front perlawanan 6.500 orang.

Peluang masuk ke panggung politik pun terbuka. Kehadiran calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan partai politik lokal dalam Pemilu 2009 bermakna penting bahwa mantan GAM dengan parpol lokalnya tidak lagi bersekat dengan rakyat Aceh yang lain dan harus siap bersaing secara demokratis.

Hasilnya, dalam pilkada akhir 2006, para mantan anggota GAM masuk berkompetisi lewat jalur perseorangan. Dari 23 kabupaten/kota seluruh Aceh, setidaknya 8 daerah kini dipimpin mantan anggota GAM, plus Gubernur Irwandi Yusuf dan Wakil Gubernur Muhammad Nazar.

Dalam Pemilu Legislatif 2009, mantan anggota GAM yang bersalin ke Partai Aceh menang. Sebanyak 33 dari 69 kursi DPRD Provinsi Aceh direbut kader Partai Aceh. Berikutnya, dalam pemilu presiden, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang disokong mantan petinggi GAM meraup 93 persen suara di Aceh.

Pembangunan
Tengku Muhammad Hasan di Tiro—lebih dikenal sebagai Wali Nanggroe—dalam pidato saat kembali ke Aceh setelah lebih dari 30 tahun tinggal dan menetap di Swedia menyatakan konflik sudah berakhir. Yang harus dilakukan rakyat Aceh adalah melanjutkan pembangunan menuju kesejahteraan.

Faktanya: ribuan proyek rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami di seluruh Aceh diakui telah membawa kemajuan perekonomian dan kehidupan masyarakat. Tahun 2004 tingkat kemiskinan di Aceh 28,4 persen dan 2008 diperkirakan turun menjadi 23,5 persen dari total jumlah penduduk 4,2 juta jiwa; meski angka kemiskinan di Aceh jauh lebih tinggi daripada angka nasional, 15,4 persen.

Menurut Bank Dunia bersama Bank Indonesia Banda Aceh, dalam dua tahun terakhir proyek-proyek rekonstruksi dan rehabilitasi lebih dari Rp 60 triliun menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Aceh. Hasil penelitian tahun 2007 menunjukkan kinerja sektor ekonomi lain di luar proyek rehabilitasi dan rekonstruksi (seperti sektor pertanian, pertambangan, terutama minyak dan gas, serta industri pengolahan) diramalkan tidak akan berjalan (Aceh Economic Update 2007).

Ramalan itu terbukti. Menjelang berakhirnya masa kerja Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, pertumbuhan ekonomi Aceh melambat. PDRB nonmigas Aceh menurun menjadi 1,9 persen (2008), jauh di bawah rata-rata nasional 6,5 persen. Puncak pertumbuhan PDRB nonmigas Aceh adalah 7,7 persen (2006). Namun, pada 2007 turun jadi 7 persen dan tahun 2008 hanya 1,9 persen atau minus 8,3 persen (digabung PDRB migas).

Badan Pusat Statistik NAD Februari 2008 menyebutkan, jumlah angkatan kerja NAD mencapai 1,781 juta orang. Dibandingkan Agustus 2007, jumlah ini meningkat sekitar 39.000. Sementara pencari kerja pada Februari 2008 sebesar 163.000 orang.

Anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, menilai, perjalanan Aceh selama ini belum sesuai dengan harapan rakyat kebanyakan. Daya serap dana APBA yang rendah menyebabkan capaian pembangunan seperti jalan di tempat. ”Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya Aceh tanpa BRR.”

Namun, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf tak terlalu khawatir dengan berakhirnya proyek BRR NAD-Nias dan lembaga donor lain. Sebagian pekerja atau buruh kasar di Aceh berasal dari luar NAD. ”Apalagi dana yang dibelanjakan pemerintah Aceh sama dengan belanja BRR NAD-Nias tiap tahun. Anggaran 2009 mencapai Rp 8,9 triliun.”

Namun, pakar ekonomi Universitas Syiah Kuala, Nazamuddin, mengingatkan bahwa Aceh mesti siap mengantisipasi masa-masa sulit. Uang untuk Aceh semakin sedikit. APBA akan menurun drastis. Jika perubahan fundamental yang pernah dijanjikan tidak kunjung mewujud, antiklimaks bisa terjadi.

Melihat Aceh di Sawang, menegaskan kenyataan: perdamaian saja belum cukup. Ketika kemiskinan tidak terkurangi dan ketimpangan sedemikian mencolok, api kemarahan sewaktu-waktu bisa dilampiaskan.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : himasaacut | rheshie | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. himasa - All Rights Reserved
Template Design by Resyi Azhari Published by Resyi Azhari