SELAMAT DATANG DI HIMPUNAN MAHASISWA KECAMATAN SAWANG - himasa
Headlines News :
Home » »

Written By Unknown on Sabtu, 08 Maret 2014 | 09.34

HIKAYAT ACEH SEBAGAI MEDIA DAKWAH  A. Pendahuluan Allah SWT telah menciptakan manusia dalam satu bentuk yang sangat indah dan amat sempurna. Dianugerahi akal sebagai alat untuk berfikir dan menjunjung tinggi perintah-Nya. Hanya akal lah yang menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Semua itu adalah merupakan rahmat dan nikmat yang senantiasa harus kita syukuri kepada-Nya. Dengan pola pikir yang dianugerahi Tuhan manusia mampu menciptakan ide dan kerangka hidupnya. Berbeda dengan binatang yang selalu tunduk dan pasif terhadap ketentuan alam semesta. Di antara perbedaan yang terlihat dengan kasat mata adalah mampu berbicara. Padahal Allah telah memberikan mulut yang sama pada manusia dan binatang. Bahkan dengan indahnya bahasa seseorang dapat membedakan antara manusia yang satu dengan lainnya. Seorang pujangga dan penyair tentu lebih indah gaya bahasanya dibandingkan manusia biasa, sehingga setiap kata yang keluar dari mulut seorang pujangga dan penyair mangandung berjuta-juta makna. Namun keelokan bahasa seorang penyair itu hal biasa, karena firman Allah dalam Al-Quran juga penuh dengan keelokan yang telah menaklukkan penyair Arab dua abad sebelum Nabi Muhammad SAW menyiarkan risalahnya. Setiap bangsa punya adat dan tradisi yang selalu diwariskan kepada anak cucunya, mulai dari cara interaksi, berpakaian sampai dengan cara berbicara. Syair Arab merupakan satu tradisi bangsa Arab yang menjadi salah satu cara berbahasa mereka. Bersyair bukan lagi hal yang jarang bahkan sudah menjadi kebutuhan primer dalam hidup nya. Maka tak heran bila hari ini syair mereka dikaji di berbagai belahan dunia, sehingga syair mereka selalu terwarisi dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Begitu juga Aceh, bangsa yang kaya dengan tradisi dan seninya. Mulai dari tari Saman, Rapai Geleng yang sudah menggetarkan dunia. Hikayat juga merupakan salah satu budaya mereka dalam berbicara. Bahkan Hikayat ini sebagai media dakwahnya. Berhikayat bukan hal asing lagi di telinga rakyat Aceh, sebagai nenek moyang yang cinta kepada cucunya mereka tak segan-segan menjadikan hikayat ini sebagai warisan yang tak ternilai harganya. Maka dari itu mereka menginginkan hikayat ini selalu terwarisi dan tidak terhenti pada satu masa. Beranjak dari situlah, tergerak hati penulis untuk menukil hikayat sebagai tema makalah. Karena Hikayat ini perlu diperhatikan dan dikenang. Salah satu cara yang sangat mudah untuk mengenangnya adalah berdiskusi. Barang kali selama ini sudah sangat sedikit orang yang tau asal-muasal hikayat ini bahkan ada yang sudah melupakannya. B. Makna Hikayat Hikayat adalah sebuah karya sastra Aceh berbentuk puisi atau syair. Istilah Hikayat berasal dari bahasa Arab hikayah yang bermakna cerita. Di sini perlu digaris bawahi bahwa ada perbedaan pengertian antara istilah hikayat dalam bahasa melayu dengan istilah hikayat dalam bahasa Aceh. Dalam bahasa Melayu, hikayat merupakan naratif prosa (serupa dengan haba dalam bahasa Aceh atau seperti Novel dalam sastra moderen). Sedangkan dalam bahasa Aceh, hikayat berbentuk puisi atau syair. Penulisan sebuah hikayat diawali dengan mukadimah berupa puji syukur kepada Allah serta selawat dan salam kepada Rasulullah. Kemudian disusul dengan isi dan pesan kepada si pendengar. Berbeda dengan puisi dan karya sastra lain yang kriterianya tidak mengandung mukadimah meskipun juga terdapat pesan-pesan yang terdapat dalam isinya. Hikayat merupakan jenis karya sastra Aceh yang terbesar, baik dilihat dari jumlah dan keluasan isinya. Hingga saat ini belum diketahui secara pasti berapa jumlah hikayat Aceh yang pernah ada. Pada dasarnya hikayat diciptakan dalam tradisi lisan, dihafal oleh pengarang dan orang-orang yang mendengarnya. Begitulah tradisi ini berlangsung turun temurun dalam masyarakat Aceh. Upaya penulisan hikayat biasanya dilakukan oleh orang lain yang bukan pengarangnya. Akan tetapi ada beberapa hikayat yang memang ditulis sejak awal karangannya oleh penciptanya sendiri, meskipun kemudian sering disalin kembali dan dilakukan penambahan di sana-sini oleh orang lain. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita menemukan beberapa pengarang dari suatu hikayat dan kadang-kadang cukup sulit bagi kita untuk mendapatkan informasi siapa pengarang aslinya. Ini kebiasaan yang berlaku dalam budaya tradisi lisan. Jenis-Jenis Hikayat Bila dilihat dari kandungan isinya, secara umum hikayat-hikayat Aceh dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis: a. Hikayat Epik Epik merupakan narasi panjang tentang cerita kepahlawanan. Epik dapat berbentuk syair-syair panjang yang biasanya memuat kisah-kisah perjuangan seseorang pahlawan dan pejuang yang heroik. Para ahli teori sastra Barat seperti John Peck & Martin Coyle mengatakan bahwa epik merupakan jenis puisi yang paling ambisius (the most ambitious kind of poem). Epik adalah karya sastra besar yang senantiasa menampilkan even-even sejarah dan legendaris yang bersifat universal dan nasional . Hikayat Epik terdiri dari: 1).Epik sejarah, di antaranya adalah: Hikayat Malém Dagang, Hikayat Pocut Muhamat, Hikayat Nun Parisi 2). Epik Perang, di antaranya adalah: Hikayat Prang Sabi, Hikayat Prang Gômpeuni, Hikayat Prang Cut Ali, Hikayat Prang Pandrah, Hikayat Eseutamu (Istambul), Hikayat Prang Raja Khaiba 3). Epik Keagamaan, di antaranya adalah: Hikayat Nabi Usuh, Hikayat Elia Tujôh 4).Epik Roman dan Legenda, jenis ini Merupakan kelompok hikayat terbesar dan paling banyak jumlahnya bila dibandingkan dengan ketiga kelompok di atas. Yang paling masyhur adalah: Hikayat Malém Diwa, Hikayat Jugi Tapa, Hikayat Asai Padé, Hikayat Putroe Gumbak Meuh, Hikayat Indra Budiman, Hikayat Banta Beuransah. b.Hikayat Non-Epik Hikayat non-epik pada umumnya lebih singkat dan pendek. Berbeda dengan jenis epik, kebanyakan hikayat non-epik berupa karya tulis; artinya proses penciptaannya dari semula memang dirancang dalam bentuk teks tulisan. Karya-karya non-epik dapat dibagi menjadi lima kelompok : 1). Kelompok Agama/Moral, Dalam jenis non-epik kelompok Agama/moral inilah yang paling besar dan paling banyak jumlahnya. Karya hikayat dalam kelompok ini terdiri dari berbagai topik, ada yang berkenaan dengan hukum-hukum agama, cerita-cerita akhirat (termasuk tentang nikmat surga dan azab neraka), serta kata-kata nasihat dan peringatan. Yang paling terkenal dalam kelompok ini di adalah: Hikayat Akeubarô Karim, Kisah Duablah Peukara, Hikayat Tambéh Tujôh Blah, Hikayat Bahaya Siribèe, Hikayat Tujôh Kisah, Sanggamara, Cahya Permata 2). Kelompok Kritik Sosial, dalam kelompok ini tertuang berbagai karya yang kandungannya memuat maksud penulis untuk memberi kritikan dan protes terhadap bermacam-macam kejadian dalam masyarakat yang mengandung muatan negatif dan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Diantara hikayat yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah: Tanda Mata karya Araby Ahmad , Kareuna Ma Tuan karya Syèh Rih Krueng Raya. 3). Kisah Pribadi, bentuk hikayat yang tergolong dalam kelompok ini, sering kita dapatkan isinya memuat tentang pengalaman pribadi seseorang yang telah dituangkan ke dalam bentuk hikayat dengan harapan dapat menjadi pelajaran bagi orang lain. Hikayat-hikayat ini menyerupai autobiografi dalam sastra moderen. Mungkin cukup menarik untuk dibaca atau didengarkan bacaannya karena memuat berbagai pengalaman hidup dari figur tokoh-tokoh masyarakat kita yang hidup di zaman yang berbeda. Salah satu karya yang dapat digolongkan ke dalam kelompok ini adalah hikayat Ranto, karya Leubè Isa yang juga terkenal dengan nama Teungku Bambi. Di sini Teungku Bambi mengisahkan pengalaman hidupnya di perantauan saat beliau berada di daerah perkebunan lada di pantai barat Aceh pada masa penjajahan Belanda. Selain itu, kita jumpai hikayat Seumangat Atjeh karya Abdullah Arief, di mana penulisnya mengabadikan pengalaman kepergiannya ke Canada. Ada lagi hikayat Ana Wahiya karya Teungku Hasan Ibrahim Bireuen yang mengisahkan pengalaman hidupnya sejak masa kecil. 4).Kelompok Sejarah, Dalam kelompok ini kita jumpai karya-karya seperti: Hikayat seujarah Darôssalam karya Tgk Basyah Kamal Lhông, Nasib Aceh karya Abdullah Arif, Si Judô Pahlawan Aceh karya Araby Ahmad dan lain-lain. 5).Kisah-Kisah Perumpamaan Binatang, kelompok ini agak kecil dan sedikit jumlahnya. Yang terkenal di antaranya adalah: Hikayat Peulandôk Kancé (yang dalam versi prosa dikenal dengan Haba Peulandôk), Hikayat Kisah Hiweuen atau dikenal juga dengan Hikayat Nasrua. C. Sejarah Awal Mula Sastra dan Hikayat di Aceh Telah berabad-abad lamanya Aceh dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan, pengajaran, pemikiran keagamaan, dan pusat perdagangan yang berpengaruh tidak hanya di Nusantara tapi sampai ke manca negara. Sejarah mencatat hampir 4 abad lamanya (1514-1903) 35 orang penguasa mengendalikan kerajaan di Aceh, dengan 31 orang sultan dan empat orang sultanah. Letak geografis Aceh dalam lalu lintas perdagangan dilihat dari samudera pun sangat menentukan posisinya di panggung sejarah dalam interaksinya dengan berbagai bangsa dunia, seperti Portugis, Turki, Persia, Inggris dan Belanda. Tidaklah mengherankan bila lautan armada dikuasai kerajaan Aceh dan terlihat keunggulannya di manca negara. Sehingga dalam perlawanan bersenjata melawan kolonialisme, Aceh telah membuktikan keperwiraan dan ketabahan perjuangan melintasi jangka waktu berpuluh puluh tahun di darat maupun di laut, dan dalam perlawanan ini tidak hanya kaum lelaki yang berperan tetapi kaum perempuan pun ikut memperkuat barisan. Budaya menulis sejalan dengan berkembangnya pengajaran dan pemikiran keagamaan yang telah tercatat lama di Aceh. Islamisasi berpusat di perlak pada abad ke-8 (menurut Ulama Aceh), atau di Pasai pada abad 13 (menurut penemuan benda sejarah dan laporan perjalanan orang asing).Tercatat dalam sejarah sejumlah cendikiawan yang mengarang atas penugasan Sultan. yang memberikan perhatian istimewa terhadap penulisan buku, terutama mengenai masalah keagamaan, dan juga yang memberikan kesempatan pada karya kreatif terutama hikayat. Pada zaman Sultan Iskandar Tsani (1636-1641) dan Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675), Syekh Nuruddin Arraniry mengarang 27 kitab tentang filsafat, tasauf sejarah, dan puisi dalam bahasa Melayu. Atas permintaan Sultan dia menulis kitab Bustan as-Salatin, mengenai kronik raja-raja Aceh. Kemudian pada masa janda Iskandar Tsani, Sultanah Safianatuddin Tajul Alam yang memerintah pada tahun 1641-1675, menugaskan ulama Abdur Rauf as-Singkili (Teungku Syiah Kuala) untuk menulis buku pula. Sebagai seorang pakar agama, Syekh Abdur Rauf telah menghasilkan 22 karya dalam berbagai topik, di antaranya adalah; tafsir Al Quran, hukum, falsafat, akhlak, puisi dan penolakan terhadap pemahaman wihdatul wujud. Di antara kitab dan karya sastra yang ditulis dan diwarisi pada masa lampau yang sangat besar pengaruhnya adalah karya sastra Hamzah Fansuri. Dalam sastra Indonesia yang cikal-bakalnya adalah bahasa melayu, posisi Hamzah Fansuri sangatlah penting karena dia seorang penyair pertama yang menulis syair dalam bahasa Melayu empat abad yang silam. Sehingga dengan kontribusinya yang sangat besar dijadikan bahasa Melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam sesudah bahasa Arab, Persia dan Turki Ustmani. Imperialisme Belanda yang bergelombang pada abad ke-17 dan semakin berkobar pada abad ke-18 dan 19 di Nusantara menyebabkan bangkit dan berlangsungnya perlawanan terhadap sepak terjang kolonialis di seluruh kawasan tanah air kita. Banten, Makasar, Aceh, Madura, Palembang, Riau, Jawa Tengah, Bali, Lombok, Tidore, Ternate, Banda, Ambon, Sumatera Barat, Banjarmasin dan lain-lain. Namun nenek moyang kita tidak membiarkan Belanda begitu saja menjarah wilayahnya, tapi mereka mengadakan perlawanan sehingga senjata pun bersuara di mana-mana. Pada abad ke-19 inilah munculnya hikayat Aceh, yang berjudul hikayat prang sabi atau hikayat perang sabil. Hikayat ini ditulis oleh seorang Teungku nan alim dimana pada tahun 1870-an beliau berada dalam sebuah kapal besar berlayar mengarungi lautan luas dari Jeddah menuju Pulau Pinang. Beliau lebih dikenal dengan Teungku Chik Pantee Kulu. Saat itu, beliau sudah sangat lama berdomisili di Makkah, menunaikan ibadah haji dan ibadah lain termasuk menuntut ilmu. Selama di tanah suci, beliau banyak membaca dan belajar sastra Islam yang tertuang di dalam bentuk hikayat dan bait-bait syair, khususnya yang menceritakan tentang kisah perjuangan di zaman Rasulullah saw dan di zaman para Sahabat r.a. Dari banyak membaca dan belajar ini tertanam dalam jiwa beliau ruh heroik para pejuang Islam. Oleh karena itu tidaklah heran beliau terpanggil untuk kembali ke tanah airnya ketika mengetahui agresi Belanda telah berlangsung di bumi Aceh kurang lebih 30 tahun. Lalu hikayat ini diserahkan kepada Teungku Chik di Tiro untuk diperkenalkan kepada pahlawan perang. Dengan berkat dedikasi beliau hikayat ini hidup dan fasih di lidah masyarakat Aceh saat itu. Hikayat yang isinya sangat menjiwai semangat pahlawan ini dijadikan sebagai pembakar semangat pejuang dalam peperangan melawan serdadu Belanda. Sampai para pakar kontemporer berpendapat bahwa hikayat semacam ini sukar di cari tandingannya dalam khazanah sastra dunia. Selain hikayat Prang Sabi, ada juga hikayat lain yang diberi nama dengan hikayat Prang Kompeni yang dikarang oleh Abdul Karim, lebih dikenal dengan Do Karim. Kemudian di susul sesudah mereka pada masa-masa selanjutnya dengan hikayat karyanya Teungku Chik Kuta Karang. Mereka inilah yang melahirkan kesusastraan epos di Aceh. D. Perkembangan Hikayat Dari Masa ke Masa 1. Sebab Berkembangnya Hikayat di Masa Lampau Berbicara tentang perkembangan hikayat di masa lampau, tentu saja kita butuh studi eksplorasi, harus ada sumber ataupun orang yang mampu menceritakan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di abad yang silam. Kita harus mengetahui terlebih dahulu hubungan cerita atau hikayat dengan masyarakat Aceh serta bagaimana pengaruhnya sehingga hikayat berkembang dengan pesat di masa mereka. Dari referensi yang penulis baca dapat disimpulkan bahwasanya faktor yang mempengaruhi masyarakat terhadap hikayat antara lain: -Hikayat tersebut bersifat komunal dan ditulis dengan bahasa Arab Melayu; Jawoe. -Dilihat dari segi penulisannya hikayat ditulis berbentuk puisi atau syair. - Isi yang disampaikan hikayat merupakan kejadian yang sesungguhnya, bukan fiksi atau pun mitos dari si pengarang. - Raja-raja Aceh ikut andil dalam membuat hikayat. - Isi hikayat tersebut mengandung nilai-nilai terbaik, di antara nilai-nilai itu adalah moral, adat dan agama. Keadaan hikayat di masa lampau (abad 19) dapat dikatakan seperti media massa atau surat kabar hari ini. Hikayat satu alat yang mereka gunakan untuk menyebar berita. Hikayat ini selalu didengar secara berulang-ulang karena didalamnya terkandung berbagai nilai yang diperlukan masyarakat. Menyadari fungsi seperti itu, maka hikayat prang sabi yang disulap dengan alur bahasa yang sangat indah dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan agama Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh. Hikayat ini telah mendorong pejuang- pejuang Aceh untuk memilih mati sahid, daripada hidup berdampingan dengan kaphee Belanda (Kafir Belanda). Di antara bait-bait/isi hikayat prang sabi adalah: "Berangkatlah engkau ke medan perang - karena menentang kafir itu diridhai Tuhan" Pada masa rakyat Aceh melawan kolonialis Belanda hampir setiap generasi Aceh telah disuntik dengan hikayat prang sabi, dari dalam buaian hikayat ini mulai diajarkan sampai dalam saf perang terus dikumandangkan. Hikayat ini bagaikan arang yang siap dibakar melahirkan api kemerah-merahan. Sehingga Srikandi Aceh Cut Nyak Dien juga telah menidurkan anaknya dengan nafas syair jihat ini. Diantara bait syair yang pernah beliau dendangkan untuk menggiurkan buah hatinya larut dalam ketiduran adalah. "Do do idee Jantung atee bewijang raja Beujeut aneuk kamat beudee Jak prang kaphee cang Beulanda Do do da idii bijeh sawi dalam kaca beuwijang rajeuk banta cutdi gantoe abi paroeh Beulanda" Oleh karena pengaruh hikayat yang sangat tajam dan telah menggiurkan masyarakat Aceh saat itu hampir semua lapisan masyarakat mampu berhikayat dan menciptakannya. Mulai dari anak-anak, pemuda, orang tua bahkan perempuan ikut andil dalam berhikayat. Sehingga jiwa berhikayat sudah menyatu dengan tubuh mereka dan sangat sulit untuk dipisahkan. Hari-hari mereka selalu terisi dengan meurika serta memperkenalkan hikayat ini ke mata dunia. Adapun cara-cara yang mereka lakukan untuk menyebar luaskan hikayat ini adalah: -Membiasakan diri untuk berhikayat dan budaya berhikayat selalu dihadirkan pada acara-acara tertentu. Di antaranya adalah: Membangkit semangat pejuang di area peperangan, Meurukon, Preh Lintoe Baroe. - Menjadikan hikayat ini sebagai hiburan. -Hikayat diajarkan kepada anak-anaknya sejak kecil, sehingga menidurkan anaknya juga dengan membaca hikayat. -Menjadikan hikayat sebagai media untuk menyampaikan syiar Islam. 2. Hikayat di Abad Modern Akibat perkembangan zaman, huruf Latin telah menggeser peran huruf Arab Melayu (bahasa Aceh; Arab Jawoe) dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Pada periode berikutnya, perkembangan pesat di bidang teknologi semakin mempercepat runtuhnya kepribadian sastra Aceh. Kemajuan bidang industri film, radio, televisi dan media cetak yang memberi bermacam jenis hiburan serta bahan bacaan telah menyebabkan kepopuleran sastra Aceh di kalangan masyarakat Aceh menurun tajam. Di dalam sejarah digambarkan sastra dan hikayat Aceh mulai merosot sebelum tahun 90-an. Namun di awal tahun 1991-1995 budaya berhikayat ini kembali bergentayangan di hadapan masyarakat Aceh. Pada saat itu lahirlah putra Aceh yang punya andil dalam dunia hikayat serta memperkenalkan kembali budaya ini kepada masyarakat. Di antaranya adalah Teungku Adnan PM Toh. Pada abad ini hikayat Aceh sangat jarang dipublikasikan, paling-paling hanya pada acara-acara besar saja, seperti acara-acara yang di hadiri pejabat besar. Tapi jiwa serta ruh rakyat Aceh pada abad ini sudah jarang kita jumpai yang bisa berhikayat bahkan ada yang sudah melupakannya. Di antara faktor yang menyebabkan hikayat ini berdebu di abad ini adalah: -Lahirnya sastra-sastra melayu yang ditulis dengan penulisan yang moderat, seperti novel, cerpen dan lain-lain. - Kurangnya media yang mau mempublikasikan sastra Aceh. -Tidak ada mata pelajaran khusus yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar (SD- SLTP- SMA) mengenai hikayat Aceh. -Pudarnya rasa cinta rakyat Aceh terhadap budaya berhikayat. Namun sampai hari ini hikayat dan sastra Aceh tidak ditinggalkan begitu saja, meskipun kemajuan zaman yang cukup pesat masih ada juga putra-putra Aceh serta instansi-instansi swasta yang bersedia untuk merevitalisasi hikayat ini. Mereka masih juga menggunakan tata cara abad 19 dalam upaya menghijaukan hikayat ini tapi sistemnya yang berbeda. Hari ini hikayat hanya bisa kita dapatkan yang kontiyu diputar di siaran radio. Seperti malam kamis di radio mega phone FM-Sigli, Malam minggu di siaran radio deraja FM Simpang Maplam Samalanga dan siaran radio lainnya. E. Peran Hikayat dan Pengaruhnya dalam Mimbar Dakwah Dalam masyarakat Aceh ada kesenian yang di sebut haba jameun ada juga yang disebut hikayat, Keduanya sangat sulit dibedakan namun keduanya diklasifikasikan kedalam cerita rakyat. Haba jameun dari segi isinya lebih kepada cerita-cerita yang diwarisi dari masa lampau baik dari Aceh atau dari luar Aceh, namun haba jameun tidak mengandung unsur historis. Sedangkan hikayat dilihat dari segi isinya mengadung cerita-cerita yang pernah terjadi di Aceh serta nilai-nilai historis yang sangat berharga. bertalian dengan sifat hikayat yang demikian, maka kajian mengenai hikayat sangat membantu untuk menggambarkan sejarah masyarakat Aceh di masa silam. Di lembaran belakang kita telah mencoba untuk mempelajari berbagai nilai hikayat serta bagaimana peran hikayat dalam proses masuk dan berkembangnya Islam di Aceh. Tidak kurang seratus dari hikayat dan haba jameun pernah hidup di Aceh. Setelah kita perhatikan bentuk serta isi hikayat maka tampaklah beberapa hal yang sangat menarik di antaranya: - Raja-raja Aceh ikut andil dalam membuat hikayat. -Peristiwa sejarah menjadi bahan bagi hikayat. -Semangat jihad dibangun dengan hikayat. Hal seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat Aceh dari dulu sudah menggunakan hikayat dalam kehidupannya untuk berbagai tujuan. OLeh karena itu dalam cacatan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Aceh peran dan kebijakan menggunakan hikayat tidak bisa di abaikan. Tanpa memperhatikan budaya berhikayat boleh dikatakan suasana kehidupan Islam dalam lingkungan rakyat Aceh tidak akan tergambar dengan baik dalam bingkai sejarah. Pada saat penyiar Islam yang mayoritasnya pedagang menyiarkan Islam ke Aceh, persoalan rumit yang harus mereka hadapi adalah bagaimana caranya agama yang baru ini (Islam) ditanamkan ke dalam rakyat Aceh yang masih menganut Hinduisme dan paham-paham lainnya. Meskipun cara pertama yang mereka lakukan dengan mengikat tali persaudaraan melalui perkawinan dan pergaulan. Namun di saat mereka sudah banyak pengikut mesti menggunakan cara lain yaitu Tablig atau pun pertemuan-pertemuan untuk memperluas jangkaun pengikutnya dalam memahami ajaran agama. Bagaimana pun pandainya seseorang dalam mengatur taktik dalam menyebar lauskan agama, tentu kemampuan dan jangkauannya terbatas oleh ruang dan waktu. Sehingga mereka memerlukan waktu yang sangat lama untuk mempengaruhi masyarakat Aceh yang umumnya menganut Hinduisme. Oleh karena itu harus ada satu cara jitu untuk menunjang perkembnagan Islam selain berdakwah dengan cara terbuka. Bagaiamana mereka bisa mempengruhi rakyat Aceh yang sedang menganut paham hindu dengan menanam paham-paham Islam dan membuat pengaruh hindu merosot. Pada saat itu pengaruh hinduisme hanya dikokohkan dengan cara menceritakan creita-creita rakyat. Oleh karena pengaruh hinduisme yang telah dikokohkan dengan cerita rakyat melalui hikayat mestilah digoyangkan dengan memasukkan unsur-unsur Islam kedalamnya. Dalam upaya memasukkan unsur Islam kedalam cerita-cerita rakyat tidaklah mudah. Karena dalam menyisipkan unsur Islam ke dalam cerita rakyat tersebut mesti dipelihara dua unsur yang lain. Pertama menjaga jalan cerita sehingga tidak merusak nilai-nilai serta seninya. Kedua, sisipan tersebut harus sehemat mungkin, sehingga alur cerita tetap terjaga. Dari sisi lain, masyarakat tidak merasa terkejut sangat mendengarnya tapi mampu memberikan semacam guguhan bagi mereka. Ternyata cara seperti ini sangat disadari oleh penyiar Islam dalam mengembangkannnya. Salah satu hikayat yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Islam adalah hikayat Malem Diwa. Hikayat Malem Diwa merupakan satu hikayat yang pernah dipandang sakti oleh masyarakat saat itu. Hampir semua isinya diwarnai oleh pengaruh hindu, namun dalam masa yang sangat pendek hikayat Malem Diwa mampu disisipkan unsur islami. Pada saat Islam telah menyebar luas sayap-sayapnya melalui media hikayat lahirlah hikayat Kanca Mara. Hikayat ini diambil dari nama seorang pemuda dari pihak Islam yang mampu mengalahkan Ratu hindu dalam perdebatan. Salah satu fungsi hikayat ini adalah untuk memperdebatkan kebenaran agama Hindu dan Islam. Setelah pengaruh dan perkembangan agama Islam memiliki tempat berpijak yang kokoh. Maka pada saat itu generasi Islam dengan tegas menolak pemahaman Hindu. Hal ini telah didokumentasikan dengan baik dalam Hikayat Poetroe Peurekison. Putri Peurekison/Putroe Peurekison adalah seorang putri yang telah memahami sepenuhnya tentang Islam saat itu, dan dengan tegas menolak ajakan ayahnya yang masih menganut paham Hindu untuk menyembah berhala. Menyisipkan nilai-nilai Islam ke dalam cerita-cerita Hindu secara bertahap dapat dipandang sebagai langkah awal dalam usaha memasukkan dan mengembangkan pengaruh Islam ke dalam masyarakat Aceh. Langkah itu masih memerlukan tindak lanjut berupa suatu usaha mendirikan suatu masyarakat Islam yang kokoh di bawah satu ikatan yang kuat pula. Dalam hal ini konstribusi raja-raja Aceh yang sudah menerima Islam sebagai agamanya sangatlah di butuhkan. Sehingga para raja pun ikut serta membuat hikayat ataupun cerita-cerita masa lalu raja saat memeluk paham Hindu. Cerita tersebut segera diberi warna Islam kemudian diberikan kepada keturunannya di saat mereka memeluk Islam. Sejarah ini juga telah di dokumentasikan dalam Hikayat Aceh dan Hikayat Raja-Raja Pasai. Jika diperhatikan kadar pengaruh Hindu dalam cerita, maka Hikayat Aceh barangkali lebih tua dari Hikayat Raja-Raja Pasai. karena cerita mengenai raja-raja Aceh dalam Hikayat Aceh melukiskan tentang nenek moyang raja-raja Aceh yang kawin dengan putri dari kayangan. Seperti yang tertuang dalam Hikayat Maleem Diwa Untuk membujuk baludari (bidadari) sang raja berkata:" Sabarlah Tuan akan pekerjaan Allah ta'ala karena Allah Subhanahu wata'ala telah menyatakan pertemuan kita yang azali." Inilah suatu gambaran tentang masuk dan berkembangnya Islam di Aceh, melalui rekontruksi dari beberapa hikayat Aceh. lukisan tersebut dapat memperlihatkan suatu proses bagaimana pengaruh Islam selangkah demi selangkah memasuki kehidupan masyarakat Aceh. F. Upaya Merevitalisasi Budaya Berhikayat Bahasa Aceh termasuk salah satu unsur kebudayaan nasional bangsa Indonesia. Bahasa Aceh adalah bahasa yang digunakan sebagian besar masyarakat Aceh dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari. Kesusteraan Aceh yang kebanyakannya ditulis dalam bentuk puisi (sajak) diberi nama dengan nadham, hikayat, tambeh, hadih maja, panton, dan syair-syair Aceh populer lainnya. Akibat perkembangan zaman, huruf Latin telah menggeserkan peran huruf Arab Melayu (bahasa Aceh; Arab Jawoe) dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Padahal, sebagian besar sastra Aceh terutama hikayat, nadlam, dan tambeh pada zaman dulu hanya ditulis dalam huruf Jawoe. Akibat tidak bisa membaca dalam tulisan Arab Melayu-Jawi, lama kelamaan pupuslah kecintaan generasi muda Aceh kepada keindahan dan kesyahduan sastranya. Pada periode berikutnya, perkembangan pesat di bidang teknologi semakin mempercepat runtuhnya kepribadian sastra Aceh. Kemajuan di bidang industri film, radio, televisi dan media cetak yang telah menghadirkan berbagai macam jenis hiburan serta bahan bacaan telah menyebabkan kepopuleran sastra Aceh menurun drastis. Malah hampir tidak ada pihak yang menghiraukannya lagi. Bahkan, keberadaan sastra Aceh dewasa ini benar-benar dalam suasana galau (titik bahaya), karena generasi muda Aceh sudah mulai "mengejek" dan "membenci" sastranya. 1. Peran Serambi Indonesia Obat penawar bagi krisis atau resesi sastra yang sudah sampai pada taraf "gawat darurat" akhirnya tiba. Kesediaan harian Serambi Indonesia memuat hikayat-hikayat Aceh secara bersambung setiap hari pada tahun 1992 s.d awal 1995 merupakan obat ampuh buat sastra Aceh yang sedang sekarat. Begitulah waktu itu secara rutin satu-persatu hasil alih aksara hikayat Aceh dimuat continu dalam harian Serambi Indonesia. Naskah hikayat yang sempat dipublikasikan kembali saat itu sebanyak 12 judul hikayat. Dengan waktu pemuatannya lebih kurang 1.000 hari. Hikayat Aceh yang sempat dimuat dalam harian Serambi Indonesia secara beruntun saat itu adalah: Nun Parisi, Meudeuhak, Aulia Tujoh, Abu Nawah, Malem Diwa. Nasruwan Ade, Abu Syamah. Tajussalatin, Zulkarnaini, Saidina ‘Ali, Banta Keumari, dan Hikayat Nur Muhammad. Pengaruh rakyat Aceh di masa pemuatan hikayat tersebut memang belum diadakan penelitian serius. Namun, kita dapat memprediksikan bahwa pengaruhnya cukup besar, terutama bagi generasi muda. Generasi muda Aceh yang selama ini hanya tau bahwa bahasa Aceh adalah semata-mata bahasa lisan buat pergaulan sehari-hari, segera mengetahui sejak itu bahwa bahasa Aceh juga bisa berperan sebagai bahasa tulisan. Dampak lain dari pemuatan hikayat di harian Serambi Indonesia, adalah orang-orang yang belum tahu menulis ejaan bahasa Aceh yang benar, akan lebih terampil dalam menulis syair bahasa Aceh. Sumbangan lain dari harian Serambi Indonesia dalam memperlambat punahnya sastra Aceh adalah dengan dimuatnya puluhan artikel dan komentar pembaca tentang bahasa dan sastra Aceh. Gagasan pikiran dari sejumlah kolumnis merupakan jalan terang yang mampu memperkuat gengsi atau karismatik sastra Aceh, sekaligus menambah wawasan masyarakat mengenai bahasa dan sastra Aceh. Di antara artikel-artikel dan surat pembaca yang sempat penulis temukan adalah sebagai berikut: a. Opini berjudul “Tafsir Al-Qur’an Berwajah Hikayat” ditulis oleh Prof Ali Hasjmy. Artikel ini antara lain membahas sejarah perkembangan penulisan hikayat di Aceh. Dikatakan bahwa penulisan hikayat tidak pernah absen di Aceh meski dalam zaman genting sekalipun, seperti di masa penjajahan Belanda. Begitu pula untuk tahun 1990-an yang berkesan hikayat Aceh mulai marak kembali. b. Artikel “Hikayat Wafeuet Siti Fatimah Sebuah Kerancuan Sejarah” ditulis oleh Drs. Ameer Hamzah, dalam artikel ini banyak mengupas seluk beluk hikayat di Aceh, di samping uraian pokok seperti yang terkandung dalam judul karangan itu. c. Artikel berjudul “Kreung Raya atau Krueng Raya, Kita Pukul Rata Saja” yang ditulis oleh wartawan Mohd Harun al-Rasyid dan Syarbaini Oesman menggelitik kita (orang Aceh) yang sangat meremehkan bahasa daerah sendiri. Tulisan ini juga menyarankan agar pihak terkait (Pemda Aceh) segera menetapkan ejaan resmi bahasa Aceh dan perlunya dibangun sebuah lembaga pendidikan buat mendidik calon-calon guru bahasa Aceh. d. menulis Artikel “Pengembangan Budaya Aceh” ditulis oleh Drs Haji Otto Syamsuddin Ishak. Dalam artikel ini mengungkapkan kejanggalan atau keteledoran dalam penetapan budaya Aceh. Di satu pihak begitu kuatnya kesan kehendak untuk hidup menurut budaya Aceh dan upaya yang serius untuk mempertahankannya, namun jurus-jurus yang ditempuh bagi mencapai maksud itu hanya bersifat seremonial atau sekadarnya saja. Otto juga menyarankan agar dibina kerjasama yang erat antara Pemda Aceh dengan Universitas yang terdapat di Aceh. antara lain untuk membangun lembaga pendidikan tentang kebudayaan Aceh, serta Pusat Penelitian dan Pengkajian Budaya Aceh (tentu termasuk bahasa dan sastra Aceh). e. Tulisan berjudul “Media Berbahasa Aceh Perlu” ditulis oleh Rusdi MG. f. Artikel Transliterasi Bahasa Aceh ke dalam Tulisan Latin ditulis oleh ” Dr Abdul Gani Asyik menyampaikan saran disertai contoh-contoh konkret agar cara penulisan bahasa Aceh disederhanakan saja. Tak perlulah lagi kita mengikuti "ajaran" Snouck Hurgronje. g. Artikel yang ditulis oleh Usman Bakar dengan judul “Bahasa Aceh Bergelut Ejaan yang tidak Praktis”. h. Artikel Tuanku Abdul Jalil yang berjudul “Jasa Hoesein Djajdiningrat terhadap Bahasa Aceh”. i. artikel “Hikayat Aceh Perlu Dibudayakan” ditulis oleh Tuanku Abdul Jalil. Dalam tulisan tersebut menjelaskan jasa-jasa Dr Hoesein Djajadiningrat dalam pembinaan bahasa Aceh, antara lain menulis Buku Kamus Bahasa Aceh-Belanda. Perlu ditambahkan, bahwa tokoh ini pernah memiliki 600 judul hikayat Aceh yang telah dihuruf latinkan. Ketika ia meninggal koleksi hikayat itu dibeli oleh Mr Muhammad Jamin. Menurut informasi, kini tumpukan hikayat itu berada di Perpustakaan Pertamina, Jakarta: tanpa rawatan yang bisa melestarikannya. j. Artikel Jasman J Makruf. SB. MBA berjudul “Manajemen dan Budaya Aceh”. Dalam artikel ini diselipkan beberapa hikayat yang diperkirakan mengandung ajaran manajemen yang masih praktis. Hikayat itu adalah Hikayat Dewa Akaf, Cahaya Manikam, Banta Amat, Himpunan Hadih Maja dan Undang-undang Aceh” dan lain-Iain. 2. Usul dan Saran Gagasan dan pemikiran tersebut di atas merupakan kumpulan perhatian dari para pencinta sastra Aceh, yang terus mendambakan bahasa dan sastra daerahnya bisa terus berkembang, seperti halnya di berbagai daerah lain di Indonesia. Berikut rangkuman dari gagasan pemikiran atau terobosan-terobosan termasuk salah satu yang perlu kita tempuh jika kita (rakyat) Aceh masih menginginkan bahasa dan sastra Aceh tidak berdebu. Perlu dicatat bahwa menyukseskan upaya-upaya itu merupakan perwujudan amanah Pancasila, UUD 1945 serta Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993, yang jelas sesuai tuntunan Allah SWT. Terobosan-terobosan dimaksudkan sebagai berikut: a. Pemerintan Daerah (Pemda Aceh bersama instansi terkait), agar segera menetapkan ejaan resmi bagi cara penulisan/menulis bahasa Aceh. Upaya ini sangat penting untuk membentuk sistem penulisan bahasa Aceh yang seragam. b. Pendirian lembaga pendidikan bahasa sastra dan budaya Aceh sangat dibutuhkan di Aceh, agar pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah bisa berjalan lancar. Pengembangan perguruan tinggi, baik berupa fakultas, jurusan atau program studi, bahkan diploma yang berstatus negeri. Guru-guru lulusan “Program studi bahasa-sastra dan bahaya Aceh” mereka inilah yang direkrut untuk menjadi guru lokal di SD, SLTP dan SLTA (MIN. MTsN, MAN) seluruh Aceh. c. Perlu diusahakan dengan segala kesungguhan berlandaskan disiplin nasional; agar program pelajaran muatan lokal benar-benar terlaksana di Aceh. Anggaran dari sumber APBN dan APBD buat bidang pendidikan harus dijalankan untuk menggerakkan pendidikan muatan lokal. d. Harian Serambi Indonesia, Banda Aceh yang telah berjasa dengan terobosan 1.000 hari Serambi di masa lalu, perlu beramal kembali memuat lagi hikayat-hikayat Aceh. Baik hikayat lama maupun hikayat baru. 3.Harapan Kita Mengingat indatu (Nenek moyang) kita dulu telah berhasil mengembangkan Islam dengan hikayat sebagai media dakwahnya. Setidaknya hari ini kita juga menggunakan tata cara mereka yaitu menjadikan hikayat sebagai media dakwah. Sekaligus memperkenalkan kembali kesustraan Aceh ke mata dunia, bagaimana peran hikayat di masa silam semangat perjuangan terus dikobarkan dan paham-paham hindu disingkirkan. Oleh karena itu perlu kita ciptakan kesadaran masyarakat sehingga rasa cinta mereka terhadap warisan indatu ini kembali menggebu. Kita perlu mengadakan budaya baca hikayat di event-event yang dihadirkan banyak orang, seperti di setiap acara Maulid Nabi, hari-hari besar Islam, bahkan di acara ulang tahun nanggroe (negara) harus diadakan budaya hikayat. Sehingga ruh rakyat Aceh tetap pada budaya sendiri dan tidak terpesona dengan sastra moderen. Dalam ajang dakwah kita juga harus menggunakan hikayat untuk menyeru manusia kepada kebenaran, menegur orang yang salah, karena hikayat itu menggunakan bahasa yang sangat halus (sindiran) kemungkinan besar mereka (orang kafir/ orang Islam yang bermaksiat) mudah menerimanya dan tidak sakit hati. Namun, efektifkah bila hikayat ini kita jadikan media dakwah hari ini. Kalau memang efektif seberapa banyak orang yang akan masuk Islam dan berapa banyak orang Islam yang akan sadar. G. Kesimpulan Hikayat merupakan sebuah karya sastra Aceh berbentuk puisi atau syair. Istilah hikayat diambil dari bahasa Arab "Hikayah" yang berarti cerita. Maka tak heran bila kita lihat isi yang terkandung dalam hikayat tersebut hampir seluruhnya mengisahkan suatu peristiwa. Hikayat ini lahir dari tangan seorang ulama Aceh di masa kolonialis Belanda di abad ke-19. Beliau adalah teungku Cheik di Pantee Kulu. Hikayat Aceh merupakan satu media yang disiapkan untuk menyebar berita di masa lampau layaknya surat kabar hari ini. Sejak dulu hikayat ini dipandang unik oleh masyarakat Aceh, sehingga mereka mengajarkan budaya hikayat kepada anak-anaknya mulai dari ayunan. Peran hikayat bila kita lihat dalam bingkai sejarah sangat banyak digunakan, antara lain sebagai media dakwah, ajang hiburan, pembangkit semangat pahlawan di area peperangan, dan lain-lain. Budaya ini selalu diwarisi oleh Nenek moyang kita sejak zaman dahulu, sehingga dengan berkat dedikasi mereka hikayat ini sudah sampai ke tangan kita hari ini. Namun, sebagai satu budaya dan tradisi warisan mereka kita perlu merevelitasikannya setiap waktu agar selalu terwarisi dan tidak punah. Daftar Pustaka Amirul Hadi, ACEH sejarah, budaya, dan tradisi, (Jakarta:YAYASAN PUSTAKA OBOR INDONESIA, 2010). Ng. Singarimbun, Aceh di Mata Kolonial.,Terj., buku ,THE ACHEHNESE., karya Dr. C. SNOUCK HURGRONJE , (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985). Ramli Harun, dkk., SEULAWAH ANTOLOGI SASTRA ACEH, (Jakarta:Yayasan Nusantara Bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh, 1995). UU. HAMIDY , AGAMA DAN KEHIDUPAN DALAM CERITA RAKYAT., (Pekanbaru: CV. BUMI PUSTAKA , 1982).
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : himasaacut | rheshie | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. himasa - All Rights Reserved
Template Design by Resyi Azhari Published by Resyi Azhari